Indonesia dan Mimpi Besar Berdaulat melalui Pangan

Yoel Mamahit PL’19
Abhi Kanantyo KL’19

Pada bulan April lalu, Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan adanya potensi krisis pangan yang akan melanda dunia pada pertengahan tahun 2020 yang disebabkan oleh berbagai alasan, antara lain kebijakan lockdown, panic buying, penutupan arus keluar/masuk manusia pada regional tertentu, juga kebijakan proteksionis yang banyak dilakukan oleh negara pengekspor pangan sebagai tindak lanjut dari penanganan pandemi COVID-19 yang melanda dunia saat ini.

Melihat hal tersebut, Indonesia, sebagai salah satu negara yang masih melakukan impor komoditas pangan utama, bereaksi. Presiden Joko Widodo lewat berbagai pidatonya telah beberapa kali mengingatkan terkait potensi krisis pangan dan bahkan sudah menginstruksikan BUMN untuk membuka lahan sawah sendiri (yang katanya sudah ada 300 hektar lahan gambut yang siap ditanami padi) demi memastikan tersedianya pasokan beras di dalam negeri. Namun, apakah membuka sawah baru yang masif di lahan gambut ini akan menjadi solusi krisis pangan yang baik?

Jauh sebelum itu, Presiden Joko Widodo mengubah Nawacita menjadi lima prioritas kerja dalam pemerintahan barunya yang seolah-olah menghilangkan kalimat kedaulatan pangan. Padahal dalam salah satu prioritasnya, yaitu pembangunan sumber daya manusia, terdapat persoalan gizi dan persoalan stunting (balita pendek) yang ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo sendiri.

Lalu, apakah hal-hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan pangan? Apakah ada hubungannya antara kesejahteraan-kesejahteraan lain yang mendukung pembangunan-pembangunan di Indonesia, dengan kedaulatan pangan? Apakah kita akan menjadi negara yang lebih berdaulat lewat kedaulatan pangan? Apakah selama ini pemerintah telah bergerak menuju kedaulatan pangan? Apakah paradigma yang dimiliki pemerintah terkait kedaulatan pangan adalah paradigma yang sesuai dengan jati diri bangsa? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi fokus utama dalam kajian ini.

Kajian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang komprehensif, pandangan yang lebih luas, dan melengkapi khazanah ilmu pengetahuan kita tentang persoalan ekosistem pangan, kedaulatan pangan, kemandirian pangan, ketahanan pangan, dan istilah-istilah lainnya.

Pembicara dalam kajian ini adalah Angga Dwiartama, dosen di SITH ITB dan pemerhati pangan yang cukup banyak memberikan ide, tulisan, dan konsep soal kedaulatan pangan. Beliau mengambil kajian di studi pertanian pangan bidang isu keberlanjutan pangan di Selandia Baru dan sekarang banyak melakukan riset tentang sosiologi pertanian dan pangan, serta membantu di komunitas untuk membangun sistem jaringan alternatif. Kajian ini dimoderatori oleh Ferio Brahmana, mahasiswa Teknik Fisika ITB 2017 yang juga merupakan anggota dari unit PSIK ITB.

Sesi Pemaparan

Susan Leigh Star, seorang sosiolog Amerika Serikat, mengembangkan sebuah studi tentang etnografi infrastruktur atau yang dikenal dengan “study of boring things” yang menjelaskan keberadaan hal-hal yang bagi kita sudah berjalan dengan sendirinya, tetapi ketika sesuatu hal terjadi, kita berusaha untuk membongkar hal-hal tersebut. Inilah yang terjadi sekarang, pandemi COVID-19 membuka mata kita tentang bagaimana sistem pangan kita begitu rapuh terhadap sebuah krisis. Para sosiolog juga mengatakan bahwa pandemi ini tidak membuat sistem pangan rusak, tetapi membongkar apa yang sebenarnya sudah rusak.

Di Amerika Serikat, 50% dari konsumsi rumah tangga terjadi di luar rumah. Karena pandemi ini menyebabkan bisnis hotel, restoran, dan kafe menurun, 50% dari konsumsi rumah tangga pun beralih ke pasar swalayan. Di satu sisi, stok di pasar swalayan habis, tetapi di sisi lain, petani membuang hasil taninya dan peternak mengeutanasia ternaknya karena ketidaksanggupan membeli pakan. Indonesia pun mengalami hal yang serupa, seperti dilansir dari Tirto, penyerapan beberapa komoditas menurun karena umumnya 75% dari hasil pertanian tersebut diserap oleh industri di luar rumah. Di DKI Jakarta sendiri, kebijakan PSBB, yang seharusnya tidak membatasi akses keluar-masuk aliran pangan, mengurangi minat para supir truk untuk mengangkut hasil pertanian ke dalam DKI Jakarta karena peraturan-peraturan yang menyulitkan mereka untuk pulang atau mengharuskan karantina. Hal ini membuat para petani tidak bisa menjual hasil pertaniannya dan harga pangan di pasar melambung. Jadi, permasalahannya bukan terletak dalam hal memproduksi, melainkan dalam rantai pasoknya. Rantai pasok modern memang cukup efisien, tetapi tidak cukup fleksibel dan tidak cukup resilient untuk menghadapi hal-hal seperti pandemi ini.

Di tengah krisis pangan saat ini, pemerintah berbicara mengenai ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan berdasarkan UU No.18 tahun 2012 yang membahas tentang definisi pangan dan cara menyelenggarakan pangan. UU tersebut mengatakan bahwa kedaulatan pangan adalah hak atas pangan bagi rakyat; kemandirian pangan adalah cara masyarakat dapat memproduksi pangan yang cukup, beraneka ragam, dan secara mandiri untuk memenuhi kebutuhannya; dan ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan yang cukup, bisa diakses, dan bermutu baik.

Seorang sosiolog bernama Michael Caroline pernah membuat sebuah buku yang membahas tentang reclaiming food security. Beliau merujuk kepada 4 bentuk kemerdekaan yang disampaikan oleh Franklin Delano Roosevelt dalam Kongres, yaitu: kemerdekaan untuk berpendapat, kemerdekaan untuk berkeyakinan, kemerdekaan terhadap kekurangan, dan kemerdekaan dari rasa takut. Pangan sendiri berkaitan dengan kemerdekaan terhadap kekurangan. Ada dua definisi dari ketahanan pangan. Pertama, ketahanan atas pangan yang tujuan akhirnya adalah pangan itu sendiri (seharusnya tidak karena manusia makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan). Kedua (dan definisi yang dimaksud dalam kajian ini), ketahanan melalui pangan yang berarti keberadaan pangan membuat masyarakat aman, berfungsi dengan baik, bisa hidup dengan sehat, dan berfungsi layaknya seorang anggota masyarakat.

Pada tahun 1960-an, ketika Revolusi Hijau terjadi, ketahanan pangan diartikan sebagai kecukupan kalori, yaitu mengenai negara/dunia dapat memproduksi pangan (dalam hal ini karbohidrat/makanan pokok) sebanyak-banyaknya untuk seluruh masyarakat. Pada kenyataannya, pangan di muka bumi cukup berlimpah jika dilihat dari rata-rata kalori masyarakat. Namun, yang menjadi masalah adalah apakah semua orang bisa mengakses pangan itu secara terbuka? Hal inilah yang membuat obesitas terjadi di suatu negara dan malnutrisi pun juga terjadi di negara lainnya.

Menurut World Food Summit, definisi ketahanan pangan dipecah menjadi tiga. Ketahanan pangan berarti pangan tersedia (available), bisa diakses (affordable/accessible), dan sesuai kualitas/keamanannya. Definisi tersebut memberi paradigma bahwa negara tidak harus memproduksi pangan selama bisa mendapatkannya melalui perdagangan bebas untuk mencapai ketahanan pangan. Inilah yang membuat Singapura memiliki ketahanan pangan terbaik sedangkan Indonesia berada pada urutan ke-65 berdasarkan Global Food Security Index 2018. Di satu sisi, paradigma tersebut benar, tetapi di sisi lain, korporat pertanian/produksi menguasai pangan dan membuat pangan hanya dikuasai oleh segelintir orang saja, yaitu perusahaan-perusahaan multinasional.

Pada tahun 1980-an hingga tahun 1990-an, terjadi negosiasi besar-besaran tentang perdagangan bebas. Pertemuan-pertemuan seperti World Trade Organization (WTO) diselenggarakan dan liberalisasi pertanian semakin terjadi. Hal ini menyebabkan para petani gurem tertekan hingga mereka pun tidak bisa memproduksi dengan cukup dan lahan mereka diakuisisi oleh petani yang lebih besar atau perusahaan. Inilah yang menekan petani untuk melakukan aksi demonstrasi hingga membentuk organisasi petani gurem internasional bernama La Via Campesina pada tahun 1993. Organisasi inilah yang merangkul petani gurem dan masyarakat adat di seluruh dunia dengan mengeluarkan terminologi kedaulatan pangan atau food sovereignty. Menurut mereka, kedaulatan pangan adalah hak setiap orang untuk menjalani hidup untuk memproduksi pangan yang sehat dan sesuai dengan budaya lokalnya dengan cara-cara yang sustainable.

Definisi kedaulatan pangan tersebut merupakan definisi yang dipakai dalam UU di Indonesia, tetapi cara pemerintah menerjemahkan kedaulatan pangan sama sekali berbeda. Menurut Jeff Neilson, seorang geographer dari Sydney University, kedaulatan pangan di Indonesia tidak berhubungan dengan konsep food sovereignty yang berkembang di luar. Seharusnya, kedaulatan pangan adalah antitesis dari ketahanan pangan karena ketahanan pangan berbicara tentang liberalisasi sedangkan kedaulatan pangan berbicara tentang perlindungan terhadap petani lokal. Dalam praktiknya di Indonesia, kedaulatan pangan dan ketahanan pangan justru berjalan hand-in-hand.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari hal tersebut. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika definisi kedaulatan pangan di Indonesia dijadikan justifikasi untuk liberalisasi pangan dan untuk korporatisasi pertanian. Contoh kejadian nyatanya adalah ketika Greenpeace memboikot produk kelapa sawit dari Indonesia dengan mengangkat isu kerusakan lingkungan dan marjinalisasi masyarakat adat, pemerintah justru menerjemahkan aksi tersebut sebagai black campaign dan upaya mendiskreditkan kedaulatan pangan kita. Kenyataannya, kelapa sawit semakin hari semakin menghimpit hak-hak masyarakat adat untuk berdaulat pangan secara lokal.

Jadi, apakah kita sudah mengonstruksi mimpi/utopia pangan kita sesuai dengan yang berkeadilan dan berkelanjutan? Revolusi Hijau terjadi dari sebuah utopia pangan, yaitu masyarakat yang tidak boleh kekurangan pangan dan berlimpahnya pangan, tetapi yang terjadi adalah kerusakan lingkungan dan marjinalisasi. Digitalisasi pertanian yang saat ini sedang terjadi juga memunculkan sebuah utopia bahwa mesin digital akan membantu manusia untuk mencapai ketahanan pangan. Namun, dampak yang lagi-lagi mulai terlihat adalah kesenjangan digital, yaitu petani-petani kecil tidak memiliki akses terhadap hal tersebut dan konglomerasi atau penguasaan sumber daya pertanian kembali terjadi. Jadi, apa mimpi kita tentang kedaulatan pangan?

Sesi 1: Paradigma Kedaulatan Pangan

Apa yang membuat perbedaan pemahaman kedaulatan pangan dari waktu ke waktu dan dari orang ke orang? Apakah persoalan pangan jika dilihat dari sudut pandang negara dan dari sudut pandang petani gurem memang berbeda?

Pada zaman dahulu, konteks ketahanan pangan selalu lokal. Masyarakat/petani memproduksi pangan untuk kebutuhannya sendiri. Ketika ada kelebihan dalam produksi, mereka baru menjual atau membarternya. Konsep seperti ini merupakan konsep pertanian yang paling tradisional.

Ketika negara terbentuk (akhir abad 19), muncullah sebuah bentuk konsepsi bahwa negara wajib menyediakan pangan bagi rakyatnya. Akhirnya, paradigma yang terbangun adalah bagaimana caranya pangan bisa mencukupi secara masal. Dari situlah Revolusi Hijau berkembang.

Pada tahun 1970-an, ketika ada negara yang mampu meproduksi lebih banyak dibandingkan negara lainnya, maka solusinya adalah perdagangan bebas (Comparative Advantage oleh David Ricardo). Munculah paradigma produksi masal, tidak peduli siapa yang memproduksi, yang terpenting adalah kecukupan kalori dalam skala besar. Negara seperti Amerika Serikat dengan perusahaan-perusahaan besarnya sudah siap untuk perdagangan bebas. Sejak itu, petani gurem mulai tergeser dan konsep produksi pangan lokal tidak terdengar lagi karena dalam paradigma Revolusi Hijau, produksi pangan berskala kecil/lokal tidak akan efisien. Berevolusinya Revolusi Hijau dengan menambahkan aspek affordability dalam definisi ketahanan pangan membuat masyarakat miskin pun memiliki akses terhadap pangan tersebut dan ketahanan pangan lokal semakin tidak tersentuh.

Ferio menegaskan bahwa konsep korporasi muncul dari definisi yang selaras dengan globalisasi dan Comparative Advantage. Namun, ketika korporasi menjadi terlalu kuat, petani gurem menjadi tidak merasakan efek dari globalisasi tersebut sehingga muncullah organisasi seperti La Via Campesina.

Jadi, apakah globalisasi bisa dikatakan sebagai akar kematian dari kontribusi petani kecil?

“Secara garis besar atau dengan definisi globalisasi secara umum, bisa dikatakan seperti itu.”

Ketahanan pangan menurut World Food Summit meliputi masalah gizi dan distribusi (akses). Kalau menurut La Via Campesina, kedaulatan pangan meliputi locality, healthy food, dan culturally relevant. Apakah memang sebenarnya kedaulatan pangan harus meliputi hal-hal yang disebutkan di atas?

“Saya setuju dengan definisi kedaulatan pangan menurut La Via Campesina yang meliputi pangan yang cukup, baik, dan bergizi dan hal tersebut sangat mungkin untuk dicapai.”

World Food Summit sudah mulai mengintegrasikan konsep nutrisi, yaitu dengan membicarakan kalori – semakin banyak karbohidrat, maka nutrisinya semakin tinggi. Namun, muncul perbedaan penerjemahan dengan La Via Campesina ketika berbicara mengenai bagaimana cara mencapai pangan yang bergizi tersebut. La Via Campesina berbicara tentang pengambilan nutrisi yang sesuai dengan kebudayaan lokal, contohnya masyarakat NTT yang memenuhi nutrisinya secara lokal dengan menanam padi, jagung, dan kacang-kacangan, bukan dengan yogurt atau buah kiwi yang bisa mempertanyakan kemampuan kita untuk cukup mandiri dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Jadi, persoalan gizi juga cukup penting, tetapi hal tersebut seringkali hilang dalam persoalan pangan di dunia.

Sebuah riset dari Global Hunger Index menyatakan bahwa ada kecenderungan bagi korporasi untuk tidak lagi peduli dengan persoalan riset, terutama di bidang gizi, dengan alasan hal tersebut tidak menyentuh bottom-line dari perusahaan tersebut. Apakah pemerintah perlu turun tangan atau mungkin perlukah pemerintah untuk memonopoli industri pangan atau mengakuisisi semua industri pangan untuk mencapai kedaulatan pangan?

Peran pemerintah adalah menjamin bahwa masyarakatnya sejahtera dan meminimalisir kesenjangan sosial. Namun, pemerintah harus memberikan koridor karena pemerintah tidak mungkin melakukannya sendiri, seperti Bulog yang hanya mampu menyerap 10% dari beras sedangkan sisanya ditanggung oleh para pelaku usaha. Jika masyarakat tidak sejahtera (tidak punya akses pangan yang baik dan tidak punya cukup lahan untuk memproduksi sendiri) dan kesenjangan sosial tidak mampu diminimalisir, maka pemerintah harus bertanggung jawab akan hal tersebut.

Korporat sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang jahat karena memang sistem pangan kita sudah timpang. Bukan entitas/individunya yang harus dibenahi, melainkan sistemnya. Dengan demikian, permasalahannya tidak terletak pada otoriter atau tidaknya pemerintah, tetapi terletak pada bagaimana cara pemerintah untuk memastikan kesejahteraan masyarakat baik secara daya beli maupun secara sosial dan memastikan bahwa tidak ada kelompok yang terpinggirkan.

Apakah definisi kedaulatan pangan tentang relevansi lokal, gizi, dan produksi akan tetap relevan sampai 50 tahun pendatang atau bahkan sampai pandemi berikutnya?

Kedaulatan pangan adalah salah satu bentuk antitesis dari globalisasi, jika semakin timpang sistem pangan kita, maka definisi kedaulatan pangan tersebut akan semakin relevan. Jadi, bisa dikatakan bahwa definisi tersebut tidak akan tergantikan sampai kita memiliki sistem yang baru yang mungkin dapat meredefinisi kedaulatan pangan itu sendiri.

Sesi 2: Paradigma Kedaulatan Pangan di Indonesia

Sebagai seorang praktisi/dosen yang melakukan banyak penelitian di bidang pertanian, bagaimana pandangan Bapak tentang keadaan pertanian di Indonesia saat ini (di luar masalah kedaulatan pangan) dan apa yang sebenarnya sudah menjadi permasalahan pada pertanian kita dan belum berakhir hingga hari ini?

Berdasarkan data yang terakhir dilihat dari BPS, negara kita cukup akan pangan dan tidak mengalami masalah kerawanan pangan secara angka dan teori. Namun, pada kenyataannya, masih banyak daerah-daerah (terutama di bagian timur Indonesia) yang kerawanan pangannya cukup tinggi atau ketahanan pangannya rendah. Hal ini didukung oleh konsep produksi kita yang masih memproduksi pangan untuk kebutuhan daerah lain, seperti Kalimantan memproduksi untuk Jawa dan Jawa memproduksi untuk Papua. Konsep ini merupakan buah dari Revolusi Hijau yang menuntut daerah-daerah seperti Papua dan NTT untuk menjadikan beras sebagai makanan pokok, padahal seharusnya mereka mengandalkan sagu, jagung, dan umbi-umbian. Masalah ini membutuhkan sistem logistik yang kokoh sebagai solusinya dan pada kenyataannya, sistem logistik kita masih sangat ringkih.

Di sisi lain, ada beberapa petani yang masih berusaha untuk membangun sistem pangan lokal mereka sendiri seperti sistem kebun talun di Jawa Barat. Jadi, sebenarnya masih ada harapan untuk membangun kedaulatan pangan dalam konteks lokal.

Ditegaskan kembali oleh Ferio bahwa tiga masalah utama dalam pertanian di Indonesia adalah pangan yang dipolitisasi (contohnya menasionalisasi beras), masalah logistik, dan adanya stigma Jawa-sentris.

Bagaimana paradigma kedaulatan pangan yang seharusnya kita pegang? Apakah UU No. 12 Tahun 2018 sudah tepat atau apakah masalah tidak terletak pada definisinya, tetapi pada implementasinya?

“Definisi bisa dipakai oleh siapa pun dan dengan cara apa pun, yang terpenting adalah dalam mengimplementasikannya.”

UU No. 18 Tahun 2012 sudah membicarakan tentang penyelenggaraan pangan, yaitu pemerintah daerah harus memiliki cadangan pangan dan bisa memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produksi pangan. Namun, hal tersebut terlalu sederhana karena tidak membicarakan hal-hal yang paling mendasar seperti isu tenurial. Walaupun reformasi agraria sudah digaung-gaungkan, masih banyak kasus akuisisi lahan dan konflik tenurial terjadi. Henry Saragih (Ketua Umum Serikat Petani Indonesia) pernah mengatakan bahwa tidak mungkin ada kedaulatan pangan tanpa kedaulatan lahan. Dalam pemanfaatan teknologi, teknologi seperti apakah yang ingin digunakan? Konsep teknologi ini pun juga cukup sempit.

Kedaulatan pangan harus melihat petani sebagai sentralnya. Jika petani tidak sejahtera, maka mereka akan melihat bahwa pertanian itu tidak penting. Data survey prasensus 2018 menyatakan bahwa rumah tangga pertanian di Indonesia meningkat, tetapi jumlah ketergantungan petani terhadap usaha taninya turun (menjadi petani paruh waktu). Tidak ada yang salah dengan hal itu, tetapi kita membutuhkan petani untuk tetap bertani dan tetap sejahtera.

“Kalau mereka tidak bertani, bagaimana kita bisa berbicara tentang kedaulatan pangan?”

Bagaimana pendapat Bapak tentang tengkulak dan konsumsi pangan? Apakah kedua hal tersebut akan berpengaruh dalam kedaulatan pangan?

Kita harus mengakui bahwa tengkulak adalah hak bagi petani untuk bisa mengakses pasar. Memang, ada beberapa praktik tengkulak yang cukup menekan petani. Namun, secara sosial, tengkulak adalah elemen penting dalam masyarakat pertanian. Tengkulak berperan dalam memberikan pinjaman kepada petani yang mengalami masalah finansial (sangat mungkin terjadi karena rata-rata petani tidak memiliki asuransi kesehatan, pendidikan, dan sekuritas) dan dalam menjual hasil tani para petani ke luar.

Dalam kondisi ideal, peran kelompok tani atau koperasi bisa difungsikan jika keberadaan tengkulak ingin dihilangkan. Namun, masyarakat Indonesia memiliki luka yang cukup besar terhadap KUD dan kelompok tani saat ini lebih difungsikan untuk menyalurkan bantuan. Jadi, secara keseluruhan, tengkulak berperan dalam membangun resiliensi di sistem pangan karena mereka cukup fleksibel untuk bergerak dan mengalihkan penjualan.

Konsumsi pangan sendiri adalah bagian penting dari kedaulatan pangan. Masyarakat desa atau petani adalah net consumer, yaitu produksi mereka tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri yang menyebabkan mereka masih harus membeli juga. Umumnya, kita mengatakan bahwa agar petani lebih sejahtera, harga di petani harus ditingkatkan yang menyebabkan harga di konsumen meningkat pula. Alih-alih lebih sejahtera, petani justru terbebani karena terdampak juga.

“Saya pernah melakukan sebuah kajian tentang realisasi kedaulatan pangan di perkotaan dan mendapatkan kesimpulan bahwa masyarakat di perkotaan, khususnya masyarakat marginal, punya strategi sendiri untuk membangun kedaulatan pangan.” Strategi tersebut tidak selalu harus soal memproduksi pangan, seperti Program Kampung Berkebun, karena masyarakat ini sudah tidak memiliki waktu dan tenaga untuk memproduksi pangan sendiri. Support system, seperti pasar-pasar tradisional dan warung-warung kecil, bagi masyarakat marginal inilah yang harus didukung. Jika support system tersebut tergerus, maka kedaulatan pangan masyarakat urban tersebut akan terganggu.

Perlukah petani didorong untuk membentuk koperasi sendiri dengan kolektivitas mereka sendiri sebagai ketuanya dan bagaimana pendapat Bapak mengenai subsidi bagi petani?

Pada beberapa kasus di Amerika Latin dan Afrika, sangat membantu ketika petani bekerja sama dalam sebuah wadah yang egaliter/demokratis. Jadi, konsep koperasi secara teoritis sangat membantu tinggal bagaimana mengimplementasikannya.

Subsidi sendiri tetap diperlukan, yang harus diperhatikan adalah bagaimana pengalokasiannya. Untuk mencapai sustainable livelihood, alih-alih memberikan petani subsidi untuk menjadi pelaku agrobisnis (fenomena yang terjadi sekarang ketika pemerintah mendorong petani untuk bisa berakselerasi, tetapi yang terjadi adalah kompetisi dan membangun gap), sebaiknya pemerintah mengalokasikan dana tersebut untuk kebutuhan dasar masyarakat pedesaan. Jadi, yang dibangun bukanlah kebutuhan spesifik untuk sebuah komoditas, tetapi kebutuhan dasar masyarakat desanya. Namun, perlu diperhatikan kembali, untuk menilai efektif atau tidaknya sebuah subsidi harus dilihat hasilnya dahulu.

Seberapa pentingkah diversifikasi pangan di Indonesia dalam memenuhi kedaulatan pangan itu sendiri?

Dalam ekologi, pada ekosistem dengan tingkat diversitas tinggi, sistem tersebut cenderung lebih resilient. Hal tersebut juga terjadi dalam diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan tidak hanya dalam jenisnya, tetapi juga dalam model/sistemnya. Kunci dari diversifikasi bukanlah beralih dari beras, melainkan memiliki berbagai ragam cara untuk mengakuisisi pangan sehingga ketika terjadi gangguan di satu rantai pasok, kita masih memiliki cadangan dan masih resilient. Bayangkan dalam suatu negara terdapat pangan lokal, pangan yang mainstream/besar, skema barter, dan produksi sendiri, maka ketika ada gangguan di sebuah sistem, sistem yang lainnya bisa tetap mendukung.

Apakah faktor nutrisi, keamanan, dan jumlah produksi bisa dijadikan fokus utama dalam peningkatan ketahanan pangan?

Kita tidak bisa memisahkan antara fakor yang satu dengan yang lainnya, pangan harus cukup, bergizi dan aman. Namun, dalam praktiknya tiga hal itu bisa terpisah, bisa juga tidak. Dalam sistem pangan modern yang sifatnya global, tiga hal tersebut seolah-olah berdiri sendiri. Kita bisa mendapatkan pangan yang cukup, tetapi tidak bernutrisi; pangan yang bernutrisi tinggi, tetapi mahal; atau pangan yang bernutrisi dan cukup, tetapi karena diproduksi dengan masif, pangan tersebut tidak aman. Bandingkan dengan sistem pangan yang relatif lokal, kita bisa membuat pangan dengan nutrisi tinggi dan lebih terpelihara sehingga terjamin keamanannya. Karena hasil produksinya untuk kebutuhan masyarakat itu sendiri, dipastikan jumlahnya cukup asal masyarakat bisa mengakses lahannya.

Apakah diversifikasi harus memikirkan hal selain nutrisi, seperti misalnya menanam tanaman lain yang lebih cepat panen daripada padi?

Sebenarnya, di daerah-daerah seperti Ciptagelar dan kampung-kampung adat di Ciamis dan Tasikmalaya, padi menjadi bagian yang terintegrasi dari diversifikasi. Karena sistem penguasaan lahannya komunal, lahan tersebut menjadi milik bersama dan bisa dibagi untuk menanam padi dan kacang-kacangan. Di Ciptagelar, untuk mengembalikan nutrisi pada tanah, masyarakat mendiamkan lahannya sambil menanam kacang-kacangan setelah 6 bulan dipakai untuk menanam padi.

Riset terbaru mengatakan bahwa varietas padi dapat ditanam hingga 4 kali dalam setahun (sangat cepat), tetapi bayangkan jika lahan tersebut dipakai untuk memproduksi hingga sebanyak 4 kali berturut-turut tanpa diberikan kesempatan bagi tanahnya untuk beregenerasi. Jadi, yang harus diperhatikan bukanlah kecepatan panennya, melainkan bagaimana membangun diversifikasi dan mencadangkan pangan. Ciptagelar sendiri masih menerapkan sistem lumbung (leuit), dan dari studi yang pernah dilakukan, selisih jumlah pangannya selalu surplus. Hal tersebut menunjukan bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki permasalahan dalam pangan dan pangannya bisa disimpan dalam waktu yang lama juga.

Bagaimana pandangan Bapak mengenai UU Pokok Agraria (PA) yang berbicara soal ketahanan pangan?

Menurut Pak Angga, UU ini ideal dan bisa dijalankan. Di dalam UU PA, sudah diatur dengan jelas tentang bagaimana tingkatan dalam kepemilikan lahan. Tidak diperbolehkan bagi masyarakat untuk memiliki lahan lebih luas dari sekian hektar sehingga seharusnya tidak ada konsentrasi lahan oleh segelintir orang. Selain itu, perusahaan luar tidak boleh memiliki lahan. Jadi, kalau UU PA ditaati, isu-isu tenurial seharusnya tidak ada karena jelas-jelas bertentangan dengan UU tersebut.

Kondisi petani sebagai Net consumer mendatangkan pandangan bahwa mengandalkan impor untuk menurunkan harga adalah langkah yang tepat, apakah ketahanan pangan menjadi lebih penting dibandingkan dengan kedaulatan pangan?

Dalam sistem yang kita miliki sekarang, mencapai kedaulatan pangan sepenuhnya adalah sebuah ketidakmungkinan. Impor juga tetap penting. Ketika narasi “daripada impor, lebih baik produksi beras ditingkatkan” diangkat, yang terjadi adalah pembukaan beberapa juta hektar lahan yang seharusnya dimiliki dan dikelola oleh masyarakat adat. Paradigma yang harus dibangun adalah kedaulatan pangan merupakan sebuah utopia, yaitu sesuatu yang menjadi pendorong. Beberapa kelompok petani yang didampingi oleh Serikat Petani Indonesia mulai sedikit demi sedikit beralih dari sistem pangan global ke arah pemenuhan kebutuhan sendiri dan menjadi lebih berdaulat.

Bagaimana pendapat Bapak tentang upaya-upaya kita dalam mencapai kedaulatan pangan sendiri baik secara definisi UU No.12 Tahun 2008, maupun definisi secara global? Apakah kita sudah ada upaya untuk menuju ke sana atau justru kita malah menikmati keadaan yang ada dan membuat kita semakin jauh dari mimpi kedaulatan pangan?

Dengan lahan yang terbatas dan produksi yang ekstraktif, cukup berat bagi kita untuk bisa mandiri secara pangan. Pada tahun 1998, syarat IMF untuk memberikan bantuan untuk Indonesia adalah dengan membuka negara kita terhadap pasar bebas. IMF mengatur bagaimana kita mengeluarkan kebijakan kita dan kita tidak diperkenankan untuk memproteksi beberapa tahap kelompok petani kita karena perdagangan bebas tersebut. Namun, jika pemerintah kita bisa cukup kuat dalam negosiasi internasional dan dalam melindungi petani, maka, menurut Pak Angga, hal tersebut adalah salah satu bentuk kedaulatan pangan di tingkat nasional. Jadi, yang ditekankan bukanlah dalam mencukupi kebutuhan pangan sendiri, melainkan dalam diatur atau tidaknya kita oleh kekuatan yang lebih besar yang bisa membuat kita menjadi tidak sejahtera. Hal ini senada dengan dengan definisi yang diangkat oleh La Via Campesina tentang bagaimana sebuah negara menjadi tidak berdaulat oleh desakan liberalisasi.

Sesi 3: Alternatif Persoalan Mengejar Kedaulatan Pangan

Dalam utopia pangan di atas, bagaimana cerita logistik yang ingin didorong?

Produksi dari daerah-daerah yang jauh untuk memasok ke daerah dengan pertumbuhan penduduk tinggi akan tetap ada karena kita tidak mungkin meninggalkan sistem pangan modern ini, misalnya DKI Jakarta tidak mungkin disuruh untuk memproduksi pangannya sendiri. Itulah mengapa logistik sangat diperlukan. Namun, untuk daerah-daerah di luar perkotaan, sistem pangan lokal bisa menjadi solusi. Umumnya masalah-masalah yang terjadi dalam logistik adalah masalah teknis. Oleh karena itu, kita harus cukup cerdas untuk mengembangkan teknologi yang bisa mendukung logistik.

Dalam sosiologi pertanian, pangan lokal memiliki 4 dimensi, yaitu ekonomi, sosial, lingkungan, dan politis. Secara ekonomi, sistem pangan lokal dibangun untuk mengantisipasi distribusi dan logistik. Secara sosial, sistem yang relatif lebih kecil umumnya lebih demokratis, terbuka, dan terdistribusi merata dibandingkan dengan sistem pangan yang besar yang cenderung memiliki konsentrasi kekuasaan dan menimbulkan kesenjangan. Secara lingkungan, rantai yang lebih pendek mengurangi dampak terhadap lingkungan. Secara politis, sistem pangan lokal adalah salah satu bentuk counter hegemony terhadap sistem pangan global – sebuah pernyataan sikap akan kekuatan untuk membangun perekonomian lokal.

Ferio menegaskan kembali bahwa selama “teleportasi” belum bisa dilakukan, yang masih bisa menjadi counter hegemony dari persoalan di atas adalah menciptakan redudansi (lahan, kelompok, atau semacamnya), yaitu kita membuat ekosistem pangan yang semakin kecil dan semakin kecil sehingga tidak ada tokoh maupun aktor tertentu.

Apakah pangan akan beralih ke dalam dunia digital?

Riset tentang digitalisasi pertanian yang dilakukan oleh Pak Angga dan kelompoknya berhasil memetakan empat kluster start-up pertanian digital yang ada di Indonesia berdasarkan basisnya dan tumbuh di atas struktur masyarakat pertanian yang sudah ada. Pertama, berbasis Internet of Things (IoT). Kedua, berbasis agri-tech yang berperan dalam pengumpulan data-data untuk digunakan dalam pengambilan keputusan yang lebih baik (big data). Ketiga, berbasis virtual marketplace/e-commerce (pasar) yang berperan dalam menggantikan tengkulak/bandar. Keempat, berbasis fintech (crowdfunding) yang berperan dalam menggantikan peran bank/keuangan/rentenir (secara positif). Kelima, berbasis knowledge-sharing platform yang efektif menggantikan peran dari Petugas Penyuluh Lapangan (media untuk saling bertanya antarpetani dan konsultasi kepada ahli).

Realitanya, terdapat banyak hambatan dalam digitalisasi pertanian ini. Misalnya, peran tengkulak yang tidak semudah itu tergantikan karena para tengkulak sudah sangat mengenal kehidupan dan keluarga si petani atau bahkan sudah dianggap keluarga oleh si petani. Tengkulak pun bisa memberikan pinjaman, sedangkan hal tersebut cukup sulit bagi para start-up yang modalnya terbatas. Selain itu, langkah yang dilakukan crowdfunding untuk memberikan modal sudah sangat baik, tetapi seringkali permasalahan pada petani bukanlah modal. Aspek finansial pertanian para petani kecil tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan belanjanya sehari-hari sehingga mereka belum bisa diperlakukan secara profesional. Bahkan, seringkali para petani tidak menghitung berapa gaji yang mereka terima.

Memahami lebih dalam struktur sosial masyarakat pertanian dan bagaimana pola-pola kehidupan masyarakatnya sebelum menawarkan solusi adalah langkah yang paling tepat dan bijak. Regenerasi petani akan terjadi. Walaupun jumlahnya semakin sedikit, para petani muda akan lebih tanggap dan lebih mudah beradaptasi dengan teknologi.

Apakah digitalisasi pertanian selaras dengan utopia di atas?

Digitalisasi pertanian sendiri adalah salah satu bentuk utopia, yaitu utopia yang berlandaskan pada pemahaman bahwa teknologi bisa memecahkan masalah pertanian. Pertanian digital menawarkan sesuatu yang baru karena ketika Revolusi Hijau berdampak pada kerusakan lingkungan, digitalisasi datang dengan solusi precision farming tanpa menggunakan pestisida. Jadi, digitalisasi pertanian memiliki bingkai utopianya sendiri.

Namun, utopia dari digitalisasi pertanian berbeda dengan yang dibawa oleh La Via Campesina. Bayangkan ketika kita berbicara tentang precision farming disaat basis pertaniannya adalah kearifan lokal yang belum tentu terukur (dan belum tentu harus terukur juga). Sejauh ini belum ada titik temu antara teknologi sebagai solusi pertanian (digitalisasi) dan pertanian berbasis petani dan locality.

Negara manakah yang bisa dijadikan role model dalam mencapai kedaulatan pangan yang utopis?

Role model kedaulatan pangan yang sudah sering didengar adalah Kuba. Kuba bisa membangun ketahanan pangannya sendiri dan bahkan rakyatnya memiliki manual (buku) untuk melakukan segala hal, seperti bertani dan menjadi mekanik, sendiri. Kuba mengembangkan urban farming/community garden untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun, memang hal tersebut “didukung” oleh keberadaan embargo terhadap negaranya (dipaksa).

Apakah ada negara yang sudah mulai menerapkan precision farming yang menuju sustainability?

Studi yang membandingkan apa yang terjadi di Indonesia, Selandia Baru, Australia, Swiss, dan Amerika Serikat menunjukan bahwa masing-masing negara memiliki tingkat presisi tertentunya sendiri. Di Swiss, digitalisasi didukung oleh pemerintah sehingga pemerintah memberikan bantuan agar petani, khususnya petani komoditas tertentu, menerapkan digitalisasi. Contohnya, mesin milking otomatis pada peternak sapi perah. Amerika Serikat cukup liberal dengan memberikan keleluasaan kepada pihak swasta dan konsentrasi kekuasaan (digital divide) pun terjadi. Di Selandia Baru, robot pemetik buah mulai dioperasikan. Jadi, secara parsial sudah ada, tetapi belum ada yang benar-benar menerapkan digitalisasi tersebut secara keseluruhan.

Apakah ada negara yang masih bertahan, atau justru baru memulai, dalam mendukung masyarakat adat dalam pertaniannya?

Mungkin di beberapa negara berkembang masih ada yang bertahan dengan sikap mendukung masyarakat adatnya dalam pertanian, tetapi Pak Angga tidak terlalu mendokumentasikannya. Namun, negara-negara maju seperti Selandia Baru dan Kanada mulai “berbelok” untuk mengakui adanya masyarakat adat (Maori di Selandia Baru dan Inuit di Kanada). Walaupun Selandia Baru adalah salah satu negara yang paling liberal dalam hal pangan, mereka sudah mulai membangun utopia baru tentang kearifan lokal pangan masyarakat adatnya.

Di Indonesia sendiri ada Aliansi Masyarakat Nusantara (AMAN) yang mendukung dan mendokumentasikan bagaimana masyarakat adat membangun kedaulatan pangannya sendiri. Pemerintah pun mulai mengakui eksistensi masyarakat adat melalui undang-undang. Namun, desakan industrialisasi masih mengancam, misalnya konflik antara masyarakat Dayak dan industri kelapa sawit.

Pak Angga menceritakan bahwa beberapa temannya mulai menerapkan digitalisasi pada masyarakat adat di Ciptagelar. Memang basisnya bukan precision farming, tetapi masyarakat di Ciptagelar mulai bisa menggunakan gawainya untuk melakukan pendataan terhadap lahannya, berkomunikasi secara digital, dan membangun pasar melalui platform digital. Selain itu, yang sedang dikembangkan di Ciptagelar adalah participatory mapping untuk menentukan batas-batas wilayah adat. Seperti Revolusi Hijau, digitalisasi sangat mungkin menjadi “pisau bermata dua”. Kasus ini membuktikan bahwa digitalisasi dan kearifan lokal bisa berjalan beriringan selama kita mengerti bahwa digitalisasi itu diinterpretasikan oleh masyarakat ke dalam kesehariannya dengan cara mereka sendiri.

Apa harapan Bapak untuk kami setelah mengikuti kegiatan ini dan apa harapan Bapak untuk Indonesia dalam menghadapi persoalan kedaulatan pangan kedepannya?

Pak Angga berpesan agar kita membangun paradigma karena masyarakat kita sudah sangat pintar untuk menemukan solusi-solusi teknis. Paradigma tersebutlah yang akan membawa kita kepada solusi dan teknologi seperti apa yang akan kita hasilkan. Kita bisa membayangkan solusi seperti apa yang akan muncul kalau paradigma kita adalah tentang pembangunan pertanian, bagaimana petani bisa menjadi pebisnis, dan bagaimana agar pangan bisa dihasilkan sebanyak-banyaknya. Namun, solusi yang muncul akan sama sekali berbeda jika kita mendengarkan para petani gurem, memikirkan bagaimana cara membangun kekuatan di tingkat lokal, dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Teknologi yang sama, tetapi dengan solusi yang berbeda akan memberikan dampak yang berbeda pula. Jadi, dalam membicarakan kedaulatan pangan, hak-hak orang-orang yang seharusnya menjadi sentral atau tokoh utama dalam kedaulatan pangan harus diperhatikan dan diperjuangkan.

Ferio, sebagai moderator, menutup kajian hari ini dengan menegaskan kembali kepada kita untuk mempunyai paradigma yang cukup mewakilkan segala bentuk elemen yang ada di ekosistem pangan demi kesejahteraan, kemajuan, dan kebersamaan yang lebih baik. Beliau juga berharap agar persoalan “kekenyangan” ini akan bisa segera terselesaikan dengan cara yang bukan hanya teknisnya saja yang modern, melainkan cara berpikirnya juga yang modern tanpa meninggalkan hal-hal yang sudah dari dulu dipegang sebagai manusia secara fundamental.

Published by suluhpsik

su.luh [n] (1) barang yg dipakai untuk menerangi (biasa dibuat dr daun kelapa yg kering atau damar); obor; *** Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan ITB adalah sebuah perkumpulan mahasiswa. Mahasiswa yang selalu ingin mencoba menjawab persoalan yang mereka temukan di pinggiran jalan, di tengah perkotaan, di seluk-beluk hutan pegunungan, juga di himpitan barisan kata-kata dalam buku-buku. Dari sebuah pencarian yang merembet ke penemuan-penemuan, PSIK menjadi suluh bagi perjuangan mahasiswa yang selalu mencoba menjawab persoalan-persoalan negeri ini.

Leave a comment